Senin, 06 Desember 2010

Lutung Muara Gembong

Sinar matahari, pagi itu terasa hangat memantul dari permukaan pantai utara Kabupaten Bekasi. Tepatnya di pesisir Kecamatan Muaragembong, seekor monyet yang berbulu lebat menjuntaikan ekor ke dalam air.

Sekitar lima kali pejaman mata, tiba-tiba sambil berteriak, “kaik,” lutung tadi menarik ekornya. Seekor kepiting besar ikut keluar bersama ekor lutung.

Setelah berhasil memancing dengan cara membiarkan udang mencapit ekor, lutung lantas menyabetkannya ke pohon bakau. Setelah betul-betul tidak bergerak, lutung baru memakan hasil buruannya.



Lutung-lutung lainnya pun punya cara yang sama untuk mencari makanan. Jadi, pemandangannya unik, apalagi ketika hampir bersamaan mereka mendapatkan udang. Saut-sautan teriakan akan terdengar riuh.

Tapi, perilaku unik satwa itu sudah terjadi tahun 1985 lalu. Pada saat itu, hutan bakau di sana masih tebal dan rimbun. Lutung bergerombol. Setiap gerombolan terdiri sekitar 30 ekor. Dan mereka menetap di wilayah pesisir Muaragembong yang terletak di perbatasan dengan Kabupaten Karawang.

Baru-baru ini ketika mencoba mencari jejak satwa yang biasanya muncul pagi hari dan sore hari itu. Sayangnya, keunikan salah satu satwa itu sudah tidak terlihat lagi.

“Sekarang, susah melihat monyet-monyet itu nyari makan di sekitar sini. Apalagi yang sampai gerombolan gitu,” kata Tukam, 50 tahun, warga Desa Muara Bendera.

Jika melihat kondisi sekarang ini, kata Tukam, mestinya pesisir Muaragembong menjadi pintu gerbang terakhir penyelamatan satwa di Kabupaten Bekasi. Kenapa Muaragembong? Karena wilayah ini semula memiliki area mangrove terluas. Dibandingkan dengan pesisir Kecamatan Babelan dan Kecamatan Tarumajaya.

Sebagian Muaragembong, kata Tukam, peruntukannya ialah untuk wilayah perhutanan yang langsung di bawah kendali Departemen Kehutanan.

Satwa, seperti lutung, termasuk juga burung kuntul (bangau putih) seharusnya jadi prioritas penyelamatan. Sebab, kalau tidak ada penanganan dengan segera, maka akan benar-benar punah.

“Sekarang ini, bagaimana ada monyet dan burung lagi kalau sudah tidak ada hutan seperti dulu lagi,” kata bapak tiga anak ini.

Mangrove yang terdiri dari pohon jenis bakau di sepanjang Kecamatan Muaragembong, kini wilayah itu tidak tepat lagi disebut hutan. Rerimbunan bakau tidak rapat antara satu pohon dengan pohon lainnya. Karena rerimbunan tidak tebal dan jaraknya tidak rapat, maka mata dapat melihat ke arah pertambakan di balik jejeran pohon-pohon itu.

“Saya kira, mereka (monyet) sudah pada pindah ke daerah lain. Kalaupun masih ada, sisanya tinggal sedikit dan susah menemukannya. Mungkin sudah tidak tahan tinggal di sini,” kata Tukam.

Di sana juga tidak tampak burung-burung kuntul bergerombol di pesisir. Kalaupun ada, mereka hanya terbang rendah dan kembali terbang ke arah pantai Kabupaten Karawang.

Burung itu, kata Tukam, dulunya juga tinggal di daerah pesisir. Jumlahnya waktu itu bisa mencapai ribuan dan biasanya memilih untuk menetap di karang-karang dan pohon. Kini, kalau lagi beruntung, warga hanya bisa menyaksikan satu atau dua satwa itu dari kejauhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar