Rabu, 15 Desember 2010

Pelabuhan Sunda Kelapa Yang Melegenda

KAPAL phinisi bernama Hidayah bersandar di pelabuhan Sunda Kelapa siang itu. Belasan anak buah kapal naik turun tangga kecil yang panjangnya sekitar sembilan meter sambil memanggul semen ke atas kapal layar.

Yang mereka lakukan ialah memindahkan bahan-bahan bangunan dari truk besar yang parkir di dekat kapal ke dalam kapal yang terbuat dari kayu.

Kesibukan para anak buah kapal juga tampak di kapal phinisi lain, Putra Akbar, yang bersandar di samping kapal Hidayah.

Semua aktivitas para anak buah kapal dalam bongkar muat barang di pelabuhan dikerjakan secara manual atau tanpa bantuan mesin-mesin berat sebagaimana di pelabuhan Tanjung Priok dan pelabuhan komersial lainnya.

Aktivitas itu, rupanya menjadi daya tarik bagi wisatawan asal Melbourne, Australia. Mr and Mrs Bresten mengaku sangat kagum saat melihat bagaimana anak buah kapal itu bekerja dengan giat dan tanpa alat-alat pengaman. “Mereka tidak perlu alat-alat mesin untuk mengerjakan itu,” kata Mrs Bresten.

Saat itu, kedua wisatawan ini pun turun dari mobil untuk memperhatikan lebih dekat mengenai orang-orang itu memanggul barang-barang berat ke atas kapal layar hanya dengan meniti tangga kecil.

Bahkan, pemandu wisata senior di Sunda Kelapa, Dedi Faturrahman, pun mengakui kalau aktivitas bongkar muat yang dilakukan para ABK menjadi salah satu magnet khusus bagi wisatawan asing yang datang ke pelabuhan Sunda Kelapa.

“Orang-orang bule yang pernah saya kenal, kagum. Di luar negeri mungkin sudah tidak ada lagi, aktivitas semacam itu memakai tenaga manusia untuk mengangkat barang ke kapal,” kata Dedi.

Terlebih lagi, lanjut Dedi, para anak buah kapal yang rata-rata berbadan kecil, tetapi tenaga mereka sangat kuat. Beban berat begitu mudah diangkut ke atas kapal. Aktivitas itu, katanya, menjadi atraksi yang sangat disukai wisatawan asing.

Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa

Menurut sumber kepustakaan, pelabuhan kuno yang berlokasi di Jakarta Utara ini tercatat sebagai cikal bakal terbentuknya Jakarta. Konon, kata Dedi, Sunda Kelapa awalnya menjadi pelabuhan utama Kerajaan Hindu Sunda.

Di masa jayanya, pelabuhan ini banyak sekali dikunjungi kapal-kapal dari Malaka, Palembang, Tanjungpura, Madura, dan Makasar. Bahkan, para pedagang dari nun jauh di sana, seperti India, Tiongkok Selatan dan Kepulauan Ryuku (Jepang) pun datang.

Kapal Eropa pertama yang berkunjung ke pelabuhan Sunda Kelapa terjadi pada 1513. Kapal itu dinakodai oleh de Alvin. Mereka datang untuk berburu rempah-rempah, terutama lada.

Sunda Kelapa juga pernah jadi rebutan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Pada suatu ketika, pasukan Belanda berhasil menguasainya. Pelabuhan dan daerah sekitarnya dikuasai sangat lama oleh pasukan dan pedagang Belanda, yaitu lebih dari 300 tahun.

Sampai kemudian meletus perang lagi pada 1527, dimana pasukan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Sultan Trenggana dan Kesultanan Cirebon yang dipimpin Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa. Setelah menaklukan daerah ini pada 22 Juni 1527 Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.

Tetapi, kemudian sejak awal 1970-an, nama pelabuhan Sunda Kelapa, yang awalnya berganti nama itu, kembali dipakai sebagai nama resmi pelabuhan kuno itu.

Mengapa Sunda Kelapa Menarik

Sejarah pelabuhan inilah yang menjadi daya tarik utama sehingga wisatawan datang. “Saya datang ke sini untuk menyaksikan peninggalan sejarah Belanda,” kata Mr Bresten.

“Kami ingin melihat Batavia beserta yang dulu ditempati oleh VOC Belanda,” tambah Mrs Bresten.

Menurut Mrs Bresten dari keberadaan pelabuhan Sunda Kelapa ini telah memberikan gambaran tentang betapa hebatnya wilayah Jakarta di mata dunia.

Dedi yang sudah belasan tahun menjadi pemandu wisatawan di Sunda Kelapa sampai mengibaratkan orang bule belum merasakan datang ke Ibukota Jakarta kalau belum menginjakkan kaki di pelabuhan ini.

“Mereka itu, begitu sampai di Bandara Soekarno-Hatta, inginnya langsung diajak ke pelabuhan Sunda Kelapa,” ujar Dedi.

Mengunjungi pelabuhan Sunda Kelapa kita yang hidup di zaman modern ini terasa berada di masa yang kuno. Di tempat ini, kita akan bertemu kapal-kapal kayu tradisional yang dibuat oleh orang Bugis.

Walau berbahan kayu, kapal itu berukuran besar, bahkan ada yang mencapai 1.000 tonase. Masing-masing kapal memiliki layar yang ukurannya kecil sampai sangat besar.

Setiap pagi sampai sekitar pukul 22.00 WIB, pelabuhan ini terasa benar-benar hidup. Kapal layar silih berganti datang dan pergi. Kalau sedang berlabuh bersamaan, pelabuhan yang panjangnya sekitar satu kilometer itu, akan mampu menampung sekitar 75 kapal layar.

Kapal phinisi atau Bugis Schooner itu bentuknya sangat unik. Hampir semuanya meruncing pada salah satu ujungnya. Dan badannya berwarna-warni.

Roda perdagangan di pelabuhan ini, kata Dedi, tidak pernah berhenti. Dedi mengibaratkan suasana pada saat ini mirip seperti ketika Sunda Kelapa masih berjaya. Ratusan anak buah kapal sepanjang hari hiruk pikuk untuk membongkar dan menurunkan muatan sebelum kembali berlayar ke berbagai pulai di Tanah Air.

Aktivitas yang hampir semuanya dilakukan secara tradisional menjadi tontonan tersendiri di pelabuhan ini. Misalnya, ketika kapal datang, nanti di daratan akan ada semacam petugas parkir yang berteriak-teriak sekeras-kerasnya untuk memberi aba-aba kepada nahkoda kapal.

Jika kebetulan beruntung, wisawatan dapat menonton secara langsung bagaimana para awak kapal memperbaiki badan kapalnya yang rusak saat berlabuh atau ketika akan berlayar kembali.

Bagi wisawatan yang tidak ingin hanya melihat panorama dari sudut pandang daratan dermaga, juga bisa memanfaatkan jasa perahu kecil yang digerakkan dengan dayung oleh pemiliknya. Pengunjung akan diajak berpetualang sedikit melewati sela-sela kapal phinisi untuk menuju ke sisi lain dermaga.

Perahu-perahu kecil yang dapat disewa biasanya bersandar di antara perahu phinisi. Biaya sewanya bisa nego. Setelah sepakat, pemilik perahu langsung mendayungnya melewati sela-sela kapal kayu besar.

Dari atas perahu, wisatawan bisa menikmati sunset, dengan catatan langit sedang cerah. Sambil menyusuri dermaga, turis dapat melihat panorama pelabuhan dan kawasan di sekitarnya, sampai ujung pelabuhan.

Nah, bagi wisawatan yang ingin petualangan menantang, mereka bisa juga ikut menumpang kapal phinisi yang kebetulan akan berlayar ke pulau-pulau tujuan, misalnya Kalimantan atau Sumatera.

Tapi, kata Dedi, untuk dapat ikut petualangan seru ini tidak mudah. Sebab, wisawatan harus mendapatkan izin dari otoritas pelabuhan atau pemerintah karena kapal layar di pelabuhan Sunda Kelapa bukan termasuk kapal penumpang.

“Dulu pernah ada wisawatan asal Prancis yang ikut pelayaran. Mereka ingin mengetahui bagaimana kapal tradisional ini dikendalikan saat mengarungi lautan luas,” katanya.

Nah, di dekat pelabuhan ini, berdiri Museum Bahari. Museum ini menyimpan berbagai koleksi kemaritiman Indonesia dari jaman kuno, kolonial Belanda, sampai Indonesia merdeka.

Sedangkan di selatan lagi, wisatawan dapat mengunjungi Galangan Kapal VOC serta bangunan-bangunan peninggalan VOC lainnya.

Alamat Pelabuhan Sunda Kelapa

Jalan Maritim Raya Nomor 8, Sunda Kelapa, Penjaringan, Jakarta Utara. Indonesia.

Cara ke Pelabuhan Sunda Kelapa

-Naiklah busway ke Kota Tua atau naik kereta rel listrik ke Stasiun Kota Tua. Setelah itu, dari Kota Tua menyambung lagi dengan angkutan umum M15 (Kota-Tanjung Priok) atau M02 (Senen-Muarakarang) turun di pelabuhan Sunda Kelapa.

-Dari Kota Tua juga bisa naik becak

-Bisa juga naik Bajaj dari Kota Tua

-Di Kota Tua ada penyewaan sepeda onthel. Jasa ini bisa dimanfaatkan juga.

-Jika ingin lebih banyak menyaksikan panorama, maka jalan kaki dari Kota Tua. Sepanjang jalan, wisawatan akan melewati pasar ikan terkenal atau jembatan gantung bersejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar